- Perkembangan ekonomi yang kian pesat
telah menghasilkan berbagai jenis produk barang dan jasa yang dapat
dikonsumsi oleh masyarakat. Terlebih lagi di era perdagangan bebas ini
semakin memaksimalkan ruang gerak para pelaku usaha untuk memproduksi
dan memasarkan barang dan jasa sehingga mengakibatkan produk luar
menjadi semakin lebih mudah masuk ke Indonesia.
Dengan variasi produk barang dan jasa yang semakin banyak membuat konsumen bebas memilih bermacam-macam jenis dan kualitas barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Disisi lain, tidak adanya jaminan yang pasti terhadap produk-produk tersebut, memunculkan persoalan tersendiri bagi konsumen muslim yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. - Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni: Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. UUD 1945 mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia produksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat. Â Dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen.
- Sebagai salah satu negara yang berpenduduk mayoritas muslim, rakyat Indonesia menuntut tanggung jawab yang besar dari pemerintah dalam menjaga produk pangan yang beredar. Baik dalam hal cita rasa, sanitasi hygiene, kandungan gizi yang baik dan tidak membahayakan tubuh seperti mengandung mikroorganisme patogen, komponen fisik, biologis dan zat kimia berbahaya serta dapat dipastikan kehalalannya. Landasan utama yang menyangkut halal dan haram dijelas dalam al-Quran surat Al-Baqarah ayat 173, surat al-Maidah ayat 3 dan 88,  dan surat al-An’am ayat 121 dan145. Bila dilihat secara keseluruhan, maka di dalam al-Quran tidak kurang dari 18 ayat suci yang menjelaskan tentang makanan dan minuman yang halal dan haram. Salah satu hadist riwayat Muslim r.a yang bunyinya “Yang halal itu sudah jelas dan yang harampun sudah jelas. Dan diantara kedua hal itu terdapat musytabihat atau Syubhat (samar-samar), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa yang berhati-hati dari perkara syubhat, sesungguhnya ia telah menyelamatkan agama dan dirinyaâ€. Dengan jumlah penduduk mayoritas muslim, menyebabkan produk yang bersertifikat halal memiliki peluang pasar yang sangat besar terlebih lagi jika didukung oleh konsumen muslim dengan kepedulian tinggi terhadap kehalalan suatu produk yang dikonsumsi dan produk berkualitas yang diproses menurut aturan syari’at Islam. Sertifikasi halal tentu tidak hanya diperlukan bagi konsumen muslim semata, akan tetapi konsumen non-muslim pun juga ingin menjaga kesehatannya dengan menjaga makanan yang dikonsumsi. Hal ini bagi produsen jelas sangat menguntungkan karena adanya sertifikasi halal dapat meningkatkan kepercayaan dan loyalitas konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Di sisi lain, produsen harus memahami bahwa mereka memiliki tanggungjawab sosial untuk memberikan apa yang menjadi hak konsumen. Salah satunya adalah menyampaikan informasi produk kepada konsumen yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UU No. 8 Tahun 1999.
- Menurut UU No 7 tahun 1996, pangan
adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Pangan berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan kehidupan bangsa serta memegang peranan penting
dalam perekonomian. Sistem pangan Indonesia tidak hanya dituntut untuk
memberikan pasokan produk pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup,
tetapi juga aman untuk dikonsumsi oleh konsumen.
Pasal 30 UU No.7 tahun 1996 menyatakan “setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan panganâ€. Peraturan Pemerintah nomor 69 tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan mengatur penggunaan label produk pangan berbahasa Indonesia, namun hal tersebut tidak berjalan optimal karena pengawasan peraturan tersebut tidak terlaksana dengan baik. Sehingga mulai 1 September 2010 Kementerian Perdagangan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sepakat mewajibkan label berbahasa Indonesia untuk produk pangan. Demi berjalannya peraturan tersebut, BPOM mengeluarkan surat edaran kepada produsen dan importir makanan yang melaksanakan peraturan ini dengan baik. - Definisi pangan halal menurut Keputusan Menteri Agama RI 2001 adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, dan pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Untuk menghasilkan suatu produk yang halal namun handal dan terpercaya tidak mudah. Dalam implementasinya, proses halal harus dilakukan sejak pengembangan produk baru, proses sourcing material baru, pembelian material, inspeksi saat kedatangan, produksi, hingga distribusi produk. Serangkaian proses halal tersebut dapat dinyatakan sebagai tracebilitas. Undang-undang Eropa mendefinisikan tracebilitas sebagai suatu upaya dan kemampuan untuk menelusuri pangan, pakan, atau substansi lain yang akan dikonsumsi meliputi serangkaian proses produksi, distribusi hingga dikonsumsi, upaya mendata risiko dan melindungi kesehatan masyarakat. Tracebilitas sangat memudahkan produsen untuk melakukan penelusuran kembali jika produk di pasar mengalami suatu risiko baik risiko cacat, kualitas jelek hingga risiko keamanan seperti keracunan. Tracebilitas suatu produk dinyatakan dengan bar code pada kemasan produknya. Seperti halnya label halal maka tracebilitas sangat berperan dalam proses penetapan kehalalan suatu produk. Sistem tracebilitas secara totalitas sudah diterapkan di luar negeri sehingga produk-produknya lebih mudah dalam proses sertifikasi halal. Pedoman dan tata cara pemeriksaan dan penetapan pangan halal dituangkan dalam Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 518 Tahun 2001 Tanggal 30 Nevember 2001.
- Menurut LPPOM MUI kriteria kehalalan sebuah produk dilihat dari beberapa sisi: pertama, produk tidak mengandung babi atau produk-produk yang berasal dari babi serta tidak menggunakan alkohol sebagai komposisi yang sengaja ditambahkan. Kedua, daging yang digunakan berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syari’at Islam. Ketiga, semua bentuk minuman yang tidak beralkohol. Keempat, semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan, dan tempat transportasi tidak digunakan untuk babi atau barang tidak halal lainnya, tempat tersebut harus terlebih dahulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syari’at Islam.
- Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, hak-hak konsumen adalah: a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
- Sistem jaminan halal merupakan sistem yang diterapkan di industri untuk menjamin bahwa semua produk yang dihasilkan sudah dilakukan tidakan preventif terhadap bahaya ketidakhalalan yang mungkin akan terjadi pada produk. Jaminan pangan halal dan baik adalah mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing produk pangan lokal Indonesia baik dalam maupun luar negeri. Adanya sistem jaminan halal diharapkan dapat menghasilkan produk pangan halal yang sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Sertifikasi halal merupakan suatu tanggung jawab industri untuk melindungi konsumen yang mengkonsumsi produk pangan yang halal. Keterangan halal pada label kemasan juga dapat mendukung hak informasi konsumen untuk mengetahui kehalalan produk pangan yang dikonsumsinya. Bagian tertinggi dari sistem jaminan halal adalah manual halal, yakni suatu pedoman dalam penyusunan sistem halal, implementasi dokumentasi, dan review halal system di perusahaan.
- Legalisasi halal terhadap setiap produk pangan sangat diperlukan demi terciptanya ketentraman bathin masyarakat dalam memilih produk pangan yang dikonsumsi. Dalam hal ini, pemerintah bertanggungjawab dalam pelaksanaan legalisasi halal, tidak terbatas pada pemberian instruksi kepada para pengusaha untuk mencantumkan label halal pada produknya, tetapi perlu melalukan pengujian dan pengawasan terhadap setiap produk pangan yang beredar di seluruh wilayah Indonesia. pemerintah juga menetapkan kebijakan yang membebasan masyarakat umum dan instansi-instansi terkait, seperti lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi, untuk turut serta dalam mengawasi semua produk pangan yang beredar di masyarakat, sehingga jika terjadi sesuatu hal yang merugikan dapat diketahui secepatnya. Sumber :http://bimasislam.kemenag.go.id/halal/artikel/48-hak-dan-kewajiban-konsumen-muslim.html
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban konsumen sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
No comments:
Post a Comment